Kekalahan Syamsuar dan Refleksi buat Abdul Wahid-SF Hariyanto

Kekalahan Syamsuar dan Refleksi buat Abdul Wahid-SF Hariyanto
Kolase Foto: Syamsuar, Abdul Wahid, dan SF Hariyanto (dok: Pemprov Riau)

Petahana menang, itu biasa. Wajar, “petahana” yang lebih dikenal dengan istilah “incumbent” itu memiliki banyak kesempatan untuk menaikkan harga jualnya dibandingkan lawannya yang muncul belakangan. Lima tahun masa menjabat buat petahana sesungguhnya merupakan waktu yang lebih dari cukup untuk membuktikan kualitas dan kemampuan kepemimpinannya.

Petahana kalah, itu juga biasa. Banyak faktor yang menyebabkan kekalahan. Salah satunya, adalah rakyat di daerahnya tidak lagi merasa yakin atas kualitas kepemimpinan sang petahana. Kinerja selama lima tahun menjabat, tidak terlihat bersinar, sehingga rakyat memberikan kesempatan kepada yang lain yang dirasa lebih mampu berbuat lebih baik.

Data Center for Strategic International Studies (CSIS) menyebutkan dari 21 gubernur yang maju kembali dalam Pilkada serentak 2024, sebanyak 11 di antaranya kalah. Artinya, hanya 10 petahana yang menang (47,6 persen). Lebih banyak yang kalah (52,4 persen). Meskipun selisihnya tipis, namun petahana yang kalah lebih banyak.

Dukungan partai besar atau koalisi besar juga bukan jaminan. Masih berdasarkan kajian CSIS, sejumlah petahana yang didukung partai besar juga kalah dalam pemilihan. Terjadi pergeseran dominasi parpol pemenang di Pilkada.

Sebelumnya dukungan parpol besar PDIP dan Partai Golkar mendominasi, namun sekarang bergeser ke Gerinda yang ketua umumnya Prabowo Subianto terpilih menjadi Presiden.

Bagaimana dengan Riau yang gubernur petahananya Syamsuar bisa kalah dari pendatang Abdul Wahid – SF Hariyanto? Apa penyebab kekalahan Syamsuar yang pada Pilkada 2018 begitu perkasa mengalahkan petahana Arsyadjuliandi Rachman dan sejumlah nama besar lainnya?

Baiknya kita merunut ke belakang saat Syamsuar berniat maju di Pilkada 2018. Kala itu Syamsuar masih menjabat Bupati Siak untuk periode kedua. Namanya mulai dilirik sejumlah kalangan untuk digadang-gadang menjadi pesaing Arsyadjuliandi Rachman, karena ia dinilai berhasil membangun negeri Istana.

Syamsuar juga dikenal sebagai sosok sederhana, rendah hati dan merakyat. Ia memiliki hubungan baik dengan berbagai kalangan berbeda, termasuk dengan ulama. Ulama kondang Riau, Ustad Abdul Somad disebut-sebut berada di belakangnya meski tidak menampakkan diri secara terang-terangan mendukung Syamsuar.

Saat maju menjadi calon Gubernur Riau, Syamsuar hanya didukung tiga partai kecil yaitu Nasdem, PAN dan PKS. Jumlah dukungan tiga partai itu hanya pas-pasan untuk memenuhi syarat pendaftaran calon sebesar 20 persen dari 65 kursi di DPRD Riau, atau 13 kursi.

Dari empat calon Gubernur Riau yang mendaftar, Syamsuar masih kalah populer dibandingkan petahana Gubernur Arsyadjuliandi Rachman dan Wali Kota Pekanbaru, ibukota Provinsi Riau, “Sang Visioner” Firdaus. Namun, siapa menyangka berkat dukungan banyak kalangan dan sosok kepribadiannya, perolehan suara Syamsuar melebihi ekspektasi awal.

Syamsuar-Edy Natar Nasution meraih 38,20 persen suara, Arsyadjuliandi Rachman – Suyatno 24,24 persen, Firdaus-Rusli Efendi 19,89 persen dan Lukman EdyHardianto 17,67 persen. Syamsuar unggul di 9 dari 12 kabupatan/kota di Riau. (Sumber Pleno KPU Riau 2018).

Dengan segala keunggulannya itu, Syamsuar jelas sudah memiliki modal besar untuk membangun Riau selama 5 tahun. Sayangnya, pengalaman keberhasilan membangun Kabupaten Siak ternyata tidak berlanjut di tingkat provinsi. Tidak tampak hasil pembangunan besar yang dibuatnya. 

Apalagi pada pertengahan jabatannya, muncul pandemi Covid-19 yang mengubah arah pembangunan nasional, dan sangat berpengaruh bagi daerah. Saat pandemi, dibutuhkan pemimpin yang memiliki kemampuan membuat terobosan dan kreativitas tinggi. Itu belum dimiliki Syamsuar.

Di luar itu, setelah menjabat gubernur, perilaku Syamsuar juga berubah. Beberapa teman dekat yang ikut berjuang bersamanya menggapai kursi gubernur, mulai meninggalkannya. Salah satunya adalah Irving Kahar Simbolon, tangan kanannya, Kepala Dinas Pekerjaan Umum semasa Syamsuar menjabat Bupati Siak.

Irving adalah orang di belakang layar yang mendukung penuh pencalonan Syamsuar sebagai gubernur. “Sumber daya” Irving banyak digunakan untuk meraih kemenangan. Bahkan di awal masa transisi menjabat gubernur, Irving digadang-gadang bakal mengisi jabatan Kepala Dinas PU Riau.

Tapi rencana itu berantakan. Sebelum penyusunan “kabinet”, Irving diserang oleh demo kelompok tidak dikenal dengan isu-isu korupsi. Kelompok itu belakangan diketahui dibiayai oleh orang-orang yang tidak ingin Irving menjabat Kepala Dinas PU Riau.

Irving sudah berupaya mengatasi demo itu sendiri dan berharap perhatian Syamsuar melawan kelompok yang menyerangnya. Tapi Syamsuar bergeming tidak membantu, sehingga Irving merasa ditinggal sendirian.

Irving pun memutuskan mundur dari lingkaran dalam Syamsuar. Hubungan Syamsuar dengan Irving yang dulunya sangat bagus, pecah berantakan. Mereka tidak lagi bertegur sapa. Irving pun memilih bertahan di Siak untuk membantu Bupati Alfedri, teman sekelasnya sewaktu SMP di Pekanbaru, di awal tahun 1980-an.

Orang di lingkaran dalam kedua yang disebut-sebut meninggalkan Syamsuar adalah Yan Prana. Yan memang sempat menjadi Sekretaris Daerah Riau di masa awal kepemimpinan Syamsuar. Namun, ketika Yan menjalani kasus hukum terkait korupsi semasa di Siak, Yan juga “merasa ditinggalkan” Syamsuar. Irving dan Yan Prana dapat dikatakan sebagai dua orang yang paling banyak berperan membantu Syamsuar menjadi gubernur.

Tokoh masyarakat Siak, Arwin AS yang merupakan bupati pertama Siak, yang dulunya menjadi Ketua Tim Relawan Syamsuar - Edy Natar Nasution, juga meninggalkan Syamsuar. Pada Pilkada 2024, Arwin justru mendukung Abdul Wahid-SF Hariyanto lawan berat Syamsuar yang berpasangan dengan Mawardi. Masih banyak lagi nama-nama yang dulunya berjuang bersama Syamsuar yang kemudian meninggalkannya.

Yang cukup berat adalah Ustad Abdul Somad. Ulama kondang ini juga meninggalkan Syamsuar dan mendukung Abdul Wahid-SF Hariyanto. Dukungan UAS, demikian sebutan sang ustad, dilakukan secara terang-terangan. Konon, UAS merasa kecewa dengan Syamsuar yang juga meninggalkannya.

Menjadi gubernur ternyata membuat sifat Syamsuar yang sebelumnya dikenal ramah menjadi berubah kasar. Dalam sebuah wawancara dengan reporter Kompas TV Sarwino Ardi di awal pemerintahannya, Syamsuar melontarkan kata-kata tidak pantas sebagai seorang pemimpin.

Syamsuar melecehkan Wino dengan ucapan “ Awak sudah sarjana atau belum. Kalau belum, sekolah dulu! Bongak,” ucap Syamsuar sebelum memasuki mobilnya. Ucapan kata “bongak” yang bisa diartikan dengan kata “bodoh” itu masih terdengar di rekaman video Wino.

Ucapan kasar itu, sempat membuat sejumlah wartawan di Riau marah dan berniat mendemo Syamsuar. Untunglah Irving (saat masih berhubungan baik dengan Syamsuar) dan seorang wartawan senior berhasil menenangkan koleganya untuk menyelesaikan persoalan itu. 

Pemimpin Kompas TV Riau, Del Fadilah dan Wino diperjumpakan dengan Syamsuar di salah satu ruang di Gedung Daerah pada saat masalah “bongak” itu sedang panas-panasnya. Syamsuar memang meminta maaf, namun ucapan merendahkan dan melecehkan itu, mungkin saja bukan yang terakhir dilakukannya.

Syamsuar juga berubah dalam perilaku. Sewaktu menjadi bupati, Syamsuar banyak mendengar masukan dari berbagai pihak. Setelah menjadi gubernur, Syamsuar seakan merasa dirinya terlalu besar. 

Seorang wartawan senior di Pekanbaru mengatakan, dalam sebuah pertemuan, Syamsuar kerap memotong pembicaraan dan menyampaikan opininya sendiri saat berdiskusi terkait fungsi media, media sosial dan manfaatnya. Syamsuar mungkin merasa lebih ahli daripada awak media senior yang sudah berpuluh tahun berkecimpung di dalam dunianya itu.

Apa yang dapat dipetik dari tulisan ini. Pertama, janganlah melupakan sahabat, kawan atau teman seiring apalagi orang yang sudah bahu-membahu, berkeringat atau bahkan berdarah-darah, saat membantu Anda mendapatkan sebuah jabatan terhormat, apalagi sebagai pemimpin daerah.

Kedua tetaplah rendah hati. Jangan pernah melecehkan atau merendahkan orang lain, meski derajatnya atau intelektualnya masih belum cukup tinggi dibandingkan Anda.

Ketiga, lebih banyaklah mendengar dari pada berbicara, apalagi tentang persoalan yang bukan keahliannya. Tuhan memberikan kita satu mulut dan dua telinga, agar kita dua kali lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara.

Yang paling utama tentu saja, bekerja dan bekerja. Kualitas pekerjaan Anda selama lima tahun ke depan, tentunya akan dinilai oleh masyarakat Riau. Kalau itu yang Anda lakukan, percayalah, rakyat pasti akan puas dan mempercayakan Anda untuk jabatan kedua.

Selamat bekerja Abdul Wahid-SF Hariyanto.

Smarty for Riau smart

Halaman

#Rakyat

Index

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index