Kisruh PWI

Mengulik Pasal Perpecahan PWI dan Peluang Rekonsiliasi

Mengulik Pasal Perpecahan PWI dan Peluang Rekonsiliasi
Ilustrasi

PWI saat ini bukan saja dalam kondisi tidak baik-baik saja, tapi sudah babak belur seperti kendaraan yang bertabrakan adu kepala atau adu gerobak. Di era medsos ini, kisruh berlangsung secara terbuka. Memprihatinkan dan menyedihkan. 

Mengapa semua ini bisa terjadi? 

Semua wartawan dan pemerhati kisruh PWI sudah pasti tahu ihwal sumber perpecahan yang akhirnya memunculkan dua organisasi PWI, yaitu PWI versi Hendry Ch Bangun (HCB) dan PWI versi Zulmansyah Sekedang. Penyebabnya kita juga sudah sama-sama tahu. 

Perpecahan di tingkat pusat itu sesungguhnya dapat dieliminasi tidak meluas ke daerah, apabila dianggap sebagai persoalan pusat saja. Namun ternyata, PWI versi HCB memperluas arena pertandingan dengan membekukan kepengurusan PWI provinsi yang sejak awal mendukung Kongres Luar Biasa PWI Pusat yang memilih Zulmansyah sebagai ketua, seperti PWI Riau, Banten dan lainnya. 

Konon sudah delapan PWI Provinsi yang dibekukan PWI HCB karena terang-terangan mendukung PWI Zulmansyah. Masih ada beberapa PWI Provinsi lain yang “katanya” mendukung kubu Zulmansyah, namun belum dibekukan. Belakangan PWI versi Zulmansyah pun melakukan pembalasan dengan memecat anggota/Pengurus PWI (PLT) bentukan HCB. Akhirnya, pecat memecat semakin menjadi-jadi. 

Mari kita lihat,  apa yang mendasari pembekuan kepengurusan PWI Provinsi yang ujung-ujungnya menyebabkan perpecahan PWI di daerah? Dalam Surat Keputusan PWI Pusat Nomor 261-PLP/PP PWI 2024 tentang Pembekuan Pengurus PWI Banten masa bakti 2024-2029, tertera pertimbangan: Bahwa Pengurus Harian PWI Provinsi Banten masa Bakti 2024-2029 telah melanggar Peraturan Dasar Pasal 8 huruf (a) bahwa Anggota Muda dan Biasa PWI berkewajiban : a. Menaati PD, PRT, KEJ, KPW, dan keputusan-keputusan organisasi; (ditambah kalimat) dengan mendukung pelaksanaan KLB ilegal. 

Apabila dilihat dari pertimbangan dalam surat itu, Pengurus PWI Banten telah melanggar “keputusan organisasi”. Pelanggaran itu disebabkan mereka mendukung pelaksanaan KLB yang disebut ilegal. 

Apakah hanya ada satu pasal yang disebutkan sebagai pertimbangan dalam SK PWI HCB di atas? Memang demikian. Dalam pertimbangan hanya satu pasal. Namun, implikasi dari pasal itu tentu masih ada pada pasal-pasal selanjutnya. Nah,  mari kita lihat pasal-pasal pendukung lainnya yang tidak tertulis dalam SK dimaksud. 

Kelanjutan  dari pelanggaran Pasal 8 Peraturan Dasar PWI itu disebutkan dalam ketentuan PD PWI pasal 11 ayat (1) yang berbunyi : Terhadap anggota yang melanggar PD, PRT, KEJ, KPW, dan atau keputusan organisasi dapat dikenakan sanksi. Ayat (2) Pengurus Pusat dan Pengurus Provinsi memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi kepada anggota yang melanggar PD, PRT, KEJ, KPW, dan atau keputusan organisasi. 

Selain itu masih ada ketentuan Pasal 37 ayat (1) Peraturan Rumah Tangga PWI Pusat yang menyebutkan, Pengurus Pusat dapat membekukan pengurus Provinsi yang tidak memenuhi ketentuan PD, PRT.

Dari pasal-pasal di atas, jelas mengartikan bahwa ada  sanksi yang dapat dijatuhkan organisasi terhadap setiap pelanggaran PD, PRT, KEJ, KPW dan keputusan organisasi. Dan dari Pasal 37 ayat (1) PRT, pengurus PWI Pusat pun boleh membekukan pengurus provinsi yang tidak memenuhi ketentuan PD/PRT. Semuanya sah. 

Hanya saja, apakah begitu gampangnya pengurus menjatuhkan sanksi terberat  berupa pemecatan dan pembekuan untuk pelanggaran pasal dalam PD-PRT PWI? Nah ini yang perlu kita cermati. Mari kita pelototi lagi pasal-pasal lain yang ada dalam PD-PRT PWI. 

Pada pasal 30 PD PWI yang mengatur tugas dan fungsi Dewan Kehormatan tertera hal sebagai berikut:

1) Di tingkat Pusat dibentuk Dewan Kehormatan PWI Pusat; 

2) Dewan Kehormatan bertugas: 

a. Menyosialisasikan KEJ dan KPW; 

b. Menegakkan ketaatan terhadap PD, PRT, KEJ, dan KPW; 

c. Memutuskan ada atau tidaknya pelanggaran PD, PRT, KEJ, dan KPW; 

d. Menetapkan sanksi kepada anggota yang melanggar PD, PRT, KEJ, dan KPW;

Dari pasal 30 ayat (2) Huruf c dan d, kita dapat melihat bahwa Dewan Kehormatan memiliki “kekuasaan” atau tugas untuk memutuskan ada tidaknya pelanggaran serta sanksi terhadap anggota yang melanggar PD,PRT, KEJ dan KPW. 

Dengan melihat pasal 30 PD PWI itu, dapat ditafsirkan bahwa “hanya” Dewan Kehormatan-lah yang memutuskan ada tidaknya pelanggaran serta sanksi apabila ada anggota yang melanggar Pasal 8 PD PWI, kecuali terhadap ketentuan “keputusan organisasi”. 

Anggaplah “keputusan organisasi” menjadi satu-satunya perihal yang tidak melibatkan tugas dan fungsi Dewan Kehormatan. Dengan kata lain, Dewan Kehormatan tidak dapat memasuki ranah “keputusan organisasi”. Sehingga dapat ditafsirkan, keputusan organisasi mutlak menjadi hak pengurus. 

Apakah memang demikian? Bisa ya dan tidak. Kalau diartikan secara letterlijk dari kalimat yang tertera memang pengurus dapat menjatuhkan sanksi terhadap anggota dan membekukan kepengurusan provinsi. Namun apabila dilihat secara lebih luas Dewan Kehormatan sesungguhnya dapat memasuki ranah “keputusan organisasi” berdasarkan pasal-pasal tugas Dewan Kehormatan di atas, serta pasal 39 PRT PWI yang menjadi pasal Penutup berisi ketentuan: Hal-hal lain yang belum diatur di dalam PRT, dapat diatur oleh Pengurus Pusat, selama hal itu tidak bertentangan dengan PD, PRT untuk kemudian dipertanggungjawabkan kepada Kongres.

Sesuai pasal 39 PRT itu, “keputusan organisasi” adalah bagian dari “hal-hal yang belum diatur dalam PRT”. Artinya, pengurus berhak dan dapat membuat segala keputusan terkait organisasi. Namun, ada kalimat tambahan selama keputusan itu “tidak bertentangan dengan PD dan PRT”. Nah berdasarkan PD PRT PWI, yang memiliki hak untuk menentukan perihal kesesuaian dan pelanggaran PD dan PRT ada pada Badan Kehormatan. Jadi tafsir lainnya, Badan Kehormatan pun sesungguhnya berhak memeriksa keputusan pengurus apakah sudah sesuai atau bertentangan dengan PD-PRT. 

Apakah SK pembekuan PWI Banten sudah melewati pemeriksaan oleh Dewan Kehormatan? Rasanya tidak. Dari poin demi poin di SK pembekuan, tidak terlihat ada pertimbangan dari Dewan Kehormatan. 

Apabila pengurus tetap bersikukuh dengan haknya membuat keputusan organisasi, tentu boleh-boleh saja. Pasal di atas memang dapat ditafsirkan demikian. Namun, dengan masih adanya tafsir lain membuatnya menjadi multitafsir. Dalam hukum, hal itu dapat disamakan dengan istilah “pasal karet”.  

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pasal Karet berarti :  pasal dalam undang-undang yang tidak jelas tolok ukurnya. Pasal karet mengandung banyak tafsir dan pihak yang berkuasa, biasanya memiliki kekuasaan lebih untuk menafsirkan versinya. Dahulu dan juga sekarang masih ada pasal-pasal yang dapat disebut pasal karet.  Pasal karet ini banyak dipakai oleh penguasa untuk membungkam rakyatnya yang mengkritik atau tidak patuh. Misalnya, dahulu ada pasal terkait “penghinaan presiden” yang tafsirnya lebih disesuaikan dengan  tafsir penegak hukum yang membela penguasa.  

Pemecatan anggota dan pembekuan organisasi berdasarkan “keputusan organisasi”, apabila hanya dijatuhkan pada satu atau 2 orang/lembaga, mungkin dapat diterima atau tidak menjadi masalah. Namun kalau pemecatan dan pembekuan dijatuhkan untuk banyak anggota dan banyak institusi PWI Provinsi, ini jelas menimbulkan masalah besar. Keputusan itu justru yang menjadi sumber masalahnya. Dalam kongres mendatang, sebaiknya pasal karet itu direvisi agar pengurus PWI Pusat tidak gampang membekukan organisasi di bawahnya.   

Halaman

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index