Apakah perpecahan organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) saat ini sudah mencapai puncaknya? Entahlah. Tidak ada yang tahu jawabannya. Entah keputusan kontroversial apa lagi bakal diambil dua pihak yang berseteru. Entah PWI Provinsi mana lagi akan dibekukan dan siapa lagi yang bakal dinonaktifkan atau dipecat. Yang jelas suhu persahabatan antarwartawan di berbagai daerah di Tanah Air, kini semakin memanas.
Dua kubu mengatakan pihaknyalah paling benar, nomor satu, sedangkan yang lain palsu, ilegal atau tidak sah. Pengurus kedua kubu yang dulunya merupakan teman sejawat, sama-sama meliput berita selama bertahun-tahun, senior – yunior, sama-sama menjadi pengurus PWI terlibat saling dukung dan adu argumentasi berat yang belum ada pemenangnya.
Di daerah, kubu yang satu menyurati gubernur, pihak perusahaan, instansi dan organisasi lain untuk menyatakan diri bahwa pihaknya yang sepantasnya dirangkul sebagai pihak yang mendapat mandat resmi dari PWI Pusat. Sebaliknya kubu satunya lagi, melakukan hal serupa. Di Dumai, Riau, salah satu kubu menyurati wali kota, agar tidak mencairkan dana bantuan APBD buat kubu PWI lawannya.
Pemerintah dan pihak-pihak terkait itu mungkin saja diam-diam merasa “senang” dengan perpecahan PWI Pusat yang sudah merembet parah sampai ke daerah. Di tengah problem efisiensi dana APBN dan APBD, pemerintah dan instansi di atas dapat berkilah tidak dapat membantu PWI yang terpecah. Alasan penolakan itu sangat gampang, “ Kami belum bisa membantu, karena ada dualisme PWI dan dua-duanya mengaku paling benar. Kami takut bantuan akan menjadi temuan,”.
Seorang sahabat dari perusahaan besar di Riau mengatakan, tahun ini mereka tidak melaksanakan acara buka bersama dengan PWI. Alasannya, ya itu tadi. PWI mana yang mau diajak? Mungkin dalam hati, ia berkata,” Lumayan, kami dapat menghemat dana”.
